Gerimis hatiku malam itu..
Waktu kita shalat maghrib berjamaah. Tak terbayangkan rasanya kecamuk hatiku. Sedih, senang, bahagia, merindu, sayang, haru, lara, syukur, semua ingin kuungkapkan kepadamu. Tapi kau tahu sendiri aku ini bagaimana, tak mudah bagiku mengungkapkan semua, apalagi ngomong langsung didepanmu. Aku ini, abangmu ini, adalah lelaki pendiam, sungguh diam. Lebih sering membisu.
Rasa sedih dan lara, lantaran setelah sekian lama kita bersama. Setelah terlahir dari rahim seorang ibu yang kita cintai, setelah kita hidup bersama sejak balita, kau tahu telah 23 tahun usiaku dan menginjak 21 tahun usiamu, baru sekali itu aku bisa shalat berjamaah denganmu. Ya Allah, kemana saja aku selama ini.
Maafkan aku, karena sebagai abangmu, sebagai kakakmu, tidak pernah bisa berbagi suka dan duka denganmu. Aku mengerti perasaanmu, rasa sayangmu kepadaku, kakak kandungmu ini.
Pada saat shalat itu, aku yang jadi imam sedang engkau makmumnya. Terisak aku membacakan surat-surat pendek Al Qur’an. Bukan karena aku yang cengeng, bukan karena aku gembeng, sungguh, aku hanya terharu.
Kau mungkin tidak tahu mengapa serak suaraku membaca ayat-ayat suci itu. Aku kuat-kuatkan hatiku agar suara tangisku tidak terdengar olehmu. Tapi sesungguhnya batin ini tak terperikan rasanya.
Kunikmati shalatku saat bersamamu, entah berapa kali lagi aku bisa shalat seperti ini, denganmu, dengan saudaraku, wahai adikku. Terima kasih ya Allah, terima kasih adikku. Indah sekali shalatku malam itu.
Rasa syukurku pada Allah SWT tak terlukiskan, kebersamaan ini, yang mungkin tidak sepanjang waktu, telah menetesi kemarau hatiku yang gersang, yang rindu akan kasih sayang serta kebersamaan dengan keluarga tercinta.
Entah kapan kita bisa bersama sekeluarga lagi, seperti masa kanak-kanak kita, bersama dengan adik dan orang tua kita. Bercanda-tawa, tawa polosmu waktu kecil dulu, sungguh membuatku bahagia selalu. Ya Allah, baru kusadar, kesibukanku, kesibukan duniaku, serta duniamu telah memupus masa-masa indah saat kita kecil dulu, saat semua keluarga masih berkumpul dalam satu atap. Namun aku juga sadar, kita tidak mungkin jadi anak kecil selamanya. Kebersamaan di dunia ini juga hanya sementara, tiada yang kekal di dunia ini. Dunia sungguh fana. Semua akan terjadi sesuai ketentuanNya.
Yang selalu kurindu di dunia ini adalah kebersamaan kita sekeluarga. Indah nian rasanya. Semoga nanti setiap aku, kamu dan suamimu ada waktu libur, kita bisa kumpul lagi di kampung kita, kuharapkan selalu begitu. Padangan, disanalah aku merasa hidup. Disanalah cita-cita dan harapan mulai terkembang. Disanalah tumpuan, tujuan, saat kita pulang. Di desa kecil itulah, di tanah ibu kita itu, segalanya tampak indah buatku. Ingin aku pulang, tapi apa daya, keadaan menuntutku demikian.
Aku senantiasa berdo’a pada Allah sang pemilik jiwa, pemilik raga dan pemilik segala yang ada, agar kelak kita sekeluarga, dengan adik kita, dengan orangtua kita, beserta semua keluargamu, keluargaku kelak, keluarga adik kita kelak, aku senantiasa tiada henti berdo’a dan bermunajah kepada-Nya, bahwa kelak kita dikumpulkan di surga-Nya, tiada lain yang kupinta, alangkah bahagianya. Amiiiiiin ya Allah.
(Oepura, Kupang 25 Pebruari 2009)
0 komentar:
Posting Komentar