Di sebuah warung, saya memesan makanan. saya mencari-cari tempat yang masih kosong, dan segera duduk di sana untuk menunggu pesanan datang. Beberapa saat kemudian datanglah menu yang saya pesan. Karena saking laparnya serasa pengen buru-buru saja melahapnya. Semua yang saya pesan sudah berada di hadapan saya. Saya mencari-cari sendok, namun di meja hanya saya temukan sebuah sendok saja. Sendok yang mengenaskan, melihatnya saja orang pasti tidak akan mau menggunakannya dan memilih mencari sendok yang lain. Pantas saja dia tergolek sendiri di tempatnya, tidak ada yang menggunakannya. saya melirik-lirik meja yang lain, beberapa meja telah saya lihat. Di meja-meja itu terlihat beberapa sendok lain dengan kondisi yang bagus, lebih terlihat bersih dan lebih memikat untuk saya ambil saja dan mengacuhkan sendok yang sendirian di meja saya.

---------------------

Begitulah hidup kita. Kita lebih sering mecari-cari yang lebih baik daripada apa-apa yang sudah ada di sekitar kita. Hmm, dasar naluri manusia. Maunya menerima dan mendapatkan yang terbaik, namun kadang tidak pernah berkaca, sudah pantaskah kita menerima yang terbaik?

Sama seperti ketika kita memilih seseorang untuk menjadi partner sepanjang masa kita, menjadi teman sejati kita, teman yang akan selalu ada untuk kita di setiap duka dan suka kita, di tangis dan bahagia kita. Seringnya kita menginginkan seseorang yang ideal, seseorang yang menjadi dambaan, seorang yang siapapun menginginkannya. Namun kita sering kali melupakan, sudah pantaskah kita mendapatkannya?

Kembali ke sendok tadi. Ketika kita mau makan tadi, kita juga pasti ingin mencari sendok lain selain yang ada di depan kita. Anggap saja peristiwa yang selanjutnya terjadi adalah sebagai berikut. Ketika kita melirik meja lain dan melihat ada sendok disana, yang terlihat lebih bagus. Kemudian kita beranjak dari tempat kita untuk mengambilnya. Ternyata ketika sebelum kita berhasil meraihnya, ada sekumpulan orang lain yang menempati meja tersebut yang masing-masing sudah siap dengan menu yang akan disantap, kemudian mereka langsung mengambil sendok-sendok itu. Hmm, kecewa pastinya. Lantas kita melirik meja lain dan melihat lagi ternyata ada sebuah sendok disana, anggap saja itu satu-satunya sendok lain yang tersisa. Sendok itu jauh lebih bagus, yang pastinya lebih menarik ketimbang sendok di meja kita. Namun letaknya cukup jauh dari meja kita. Kita tetap saja memaksakannya untuk mengambilnya. Dan lagi-lagi, sebelum kita sampai ke meja tujuan, seseorang telah menempati meja itu dan segera makan dengan sendok incaran kita. Hiks, menyedihkan. Mungkin kita akan merasa bahwa kita sedang apes. Lantas kita kembali lagi ke meja kita sendiri. Dengan terpaksa akhirnya kita berniat untuk menggunakan saja sendok di meja kita tadi. Namun betapa tersentaknya ketika sesaat akan sampai ke meja kita, kita baru sadar bahwa sendok itu telah tiada. Seseorang yang lain telah mengambilnya. Lalu perasaan apakah yang muncul di benak kita, menyesal, ya pasti sangat menyesal.

Mungkin cerita tadi terlalu dramatis, tetapi dalam hidup ini, kemungkinan seperti itu akan selalu ada.

Refleksi dari cerita tadi adalah, kita memiliki naluri dan kecenderungan untuk memilih, mencari-cari yang “sepertinya” lebih baik. Dalam hal apa pun, kita selalu merasa kurang dan tidak puas dengan apa yang telah kita miliki atau dengan apa yang ada di sekitar kita.

Demikian pula dalam memilih pendamping hidup. Sikap kurang bersyukur kita, akan membawa kita untuk senantiasa mencari-cari yang menurut kita lebih baik. Berusaha mencari yang lebih baik itu boleh, namun ketika hal ini terjadi terus-menerus dan tiada pernah berhenti, lalu sampai kapan kita akan mencari? Sampai kapan kita akan mengacuhkan segala yang ada di sekitar kita? Itulah yangsaya namakan kurang bersyukur.

Ketika sudah datang seseorang yang “mungkin” dikirimkan Allah untuk menemani hidup kita, masih saja kita tidak mempedulikannya. Kurang begini lah, kurang begitu lah. Dia tidak begini lah, dia tidak begitu lah, dia tidak sempurna lah. Hmm, masih saja kita meragukan ciptaan Allah yang namanya manusia. Bukankah kita ini tercipta sebagai makhluk yang paling sempurna, makhluk yang paling baik?
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.”
Al Qur’an Surah At Tiin ayat 4 tersebut sudah cukup menjadi penjamin bahwa manusia telah dicipta dengan istimewa, Allah telah mengistimewakan kita dibandingkan makhluk lain ciptaanNya. Lantas, mengapakah kita masih meragukannya?

Kita merasa bahwa dia, yang telah dikirim untuk kita, yang mungkin telah ada di sekitar kita, dia kurang baik dan kurang memenuhi kriteria kita. Hmm, kriteria. Inilah sebuah kata yang bisa merusak tatanan. Karena kriteria itu sudah pasti kita sendiri yang menentukan. Boleh-boleh saja menetapkan kriteria tertentu, namun jangan sampai dengan kriteria itu, kita menjadi kesulitan sendiri memilh pasangan hidup. Karena terlalu tingginya kriteria yang kita tetapkan yang harus dipenuhi calon partner hidup kita.

Ada sebuah cerita menarik terkait “menetapkan kriteria” ini. Ada seorang wanita yang sudah ingin menikah. Namun dia tak kunjung jua menemukan seorang ideal menurutnya yang bisa dijadikan pemimpin hidupnya. Sebenarnya sebelum-sebelumnya sudah pernah ada beberapa yang meminangnya, namun semua pinangan itu kandas oleh sikap egonya. Pelamar-pelamar itu hanya memenuhi kriteria A,B,C atau A,B,D atau A,C,D padahal kriteria yang diinginkan adalah A,B,C,D,E,F,G,H,I,J dan seterusnya (banyak banget ya :D). begitulah, semua yang “datang” padanya mengalami nasib yang sama, DITOLAK. Seiring bergulirnya masa bertambahnya usia yang menjadikan ia tak lagi muda, mucul lah rasa resah dan gelisah. Gundah karena tak ada lagi yang datang padanya. Umur yang semakin menua membuat kekhawatiran itu semakin menggila. Ia semakin takut dan kalut. Apalagi ketika orang-orang tercintanya, keluarga dan tetangganya semakin mendesaknya karena ia tak lagi muda. perasaan “tidak laku” serta-merta menyeruak meledak-ledak. Semakin lama semakin sesak. Setelah beberapa lama waktu berlalu, akhirnya ia menyerah saja. Apa yang terjadi? Ia menurunkan kriteria yang telah ia tentukan sendiri, bahkan berniat menghilangkan kriteria itu dan akan menerima siapa saja lelaki yang datang padanya.

Tragis sekali bukan? Ia menerima “siapa saja” lelaki yang datang padanya, karena sudah putus asa. Bisa jadi lelaki itu jauh dari harapanya semula. Bisa jadi lelaki itu bahkan sama sekali tidak ia sukai dan mengecewakannya.

Begitulah, penyesalan selalu hadir belakangan. Kita selalu menilai orang lain. Kita selalu menolak orang lain karena menganggap ia tidak baik, atau ia tidak pantas untuk kita. Padahal itu hanya persangkaan kita saja. Apa yang menurut kita baik, belum tentu baik menurut Allah.
 "Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui." (QS Al Baqarah, 2:216).

Yang menjadi pertanyaan adalah, ketika seseorang yang memiliki semua kriteria yang kita inginkan, seseorang yang menjadi idaman tersebut datang, sudah pantaskah kita mendapatkannya? Pantaskah bila kita bersanding dengannya? Disinilah letak permasalahannya. Kita terlalu sibuk mencari-cari yang terbaik, namun kita selalu melupakan dan mengabaikan diri kita sendiri. Bahkan mungkin kita tidak pernah mempersiapkan untuk menjadi yang terbaik, menjadi yang pantas untuk pujaan kita. Ironis sekali.

Kuncinya adalah, jika kita ingin mendapatkan seseorang yang terbaik, maka kita juga harus mempersiapkan menjadi yang terbaik untuknya. Simpel saja.
Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula)”. (QS. An Nuur :26)

Kembali seperti kasus sendok tadi. Ketika kita menginginkan sendok yang bagus, sama seperti kita menginginkan pendamping yang “bagus”. Namun kita sering lupa, bahwa seorang tersebut mungkin terlalu baik untuk kita. Kita tidak pantas mendapatkannya, hanya saja kita seringnya ingin memaksakan ego kita. Jika kita memaksakannya, kita tidak akan pernah mendapatkannya, karena kita tidak pantas untuknya. Segala sesuatu di dunia ini tercipta dengan keseimbangan.

Maka, perhatikan kembali “sendok” kita. Perhatikan kembali sekitar kita. Adakah seseorang yang menjadi sendok tersebut? Perhatikan ia, dan fikirkanlah. Renungkan yang dalam dan segera bertindak sebelum sendok tersebut diambil orang lain. Sendok itulah mungkin yang selama ini kita cari. Sendok itulah yang mungkin tepat untuk kita. Jika sudah merasa mantab, segera ambil tindakan. Resapi kembali kata-kata ini, “tidak ada penyesalan yang hadir duluan karena ia selalu datang belakangan.”

---------------------
Alhamdulillah. Terimakasih tiada terkira saya ucapkan kepada seseorang yang telah memilih saya sebagai sendoknya. Semoga saya menjadi sendok yang selalu bisa memenuhi kebutuhannya hingga ia selalu menyantap dengan lahapnya :)
*ingin segera bisa menggenggam jemarimu ^^
(Ceger Raya, 12 November 2011)

aku hanya ingin terdiam
aku ingin segera lelap dijemput mimpi
namun tak semudah yang kumau
dalam rebah, tubuhku gelisah, semakin lama semakin parah
semua memberontak
lilitan ini memang menyiksa
sengaja tak ingin mengisi bahan bakar malam ini
namun perut ini makin lama meronta makin menjadi
terpaksa kuangkat juga raga ini
dengan malas kuayunkan langkah kaki
sepanjang jalan, hanya hening dan kelam
di gang yang kulalui ini tak seorang pun kulihat lagi
mungkin mereka sudah terbuai mimpi
berselimut tebal, berbantal nyaman, di kasur kesayangan
sekelebat pikirku melayang
menembus rerumahan dan bangunan yang berdiri menantang
angkuh, seolah kekal tak mudah dihancurkan
seolah abadi tak kan binasa
dan pikirku semakin melambung tinggi
jauh membubung di langit kelam ini
menembus gumpalan gumpalan awan hitam yang diam mematung
pun yang berarak beriringan dalam perjalanan
semua bergerak dalam satu kuasa Pencipta
semua mematuhi aturan
mencintai titah Tuhan
mataku mencari cari dewi luna
ingin kudengar sapa manisnya malam ini saja
namun tak tampak jua batang hidungnya
andai kau ada wahai rembulan
ingin kusinggah tuk lepas kepenatan

(maret 2011)

....

05.20 | 0 Comments

Cintailah orang yang kamu cintai sewajarnya, karena boleh jadi suatu ketika ia menjadi orang yang paling kau benci. Bencilah orang yang kau benci sewajarnya, boleh jadi suatu ketika ia menjadi orang yang paling kau cintai.

(HR Al Bukhari)

Love

05.13 | 0 Comments

Love is primarily giving, not receiving...
pasrah...
berserah...
aku gak akan berubah...

persetan dengan uang...
persetan dengan fatamorgana kehidupan...
aku memilih damai dengan ketiadaan...
daripada terusik memikirkan kekayaan...

...

04.32 | 0 Comments

tidak ada kebaikan bagi pembicaraan, kecuali dengan amalan. 
tidak ada kebaikan bagi harta, kecuali dengan kedermawanan. 
tidak ada kebaikan bagi sahabat, kecuali dengan kesetiaan. 
tidak ada kebaikan baggi sedekah, kecuali niat ikhlas. 
tidak ada kebaikan bagi kehidupan, kecuali kesehatan dan keamanan. 

(Al-Ahnaf bin Qais)

..

04.29 | 0 Comments

Dunia itu tempat beramal dan tidak ada pembalasan, sedangkan akhirat itu tempat pembalasan dan tidak ada amal. Maka, beramallah di tempat yang tidak ada pembalasan untuk bekal di tempat yang tidak ada amal. 


( Ali bin Abi Thalib)

.

04.27 | 0 Comments

Dengan kehilangan, kita akan mengerti arti memiliki. 
Dengan perpisahan, kita akan mengerti arti pertemuan.

Jangan bersedih, bila orang yang selama ini dekat denganmu menghunjamkan anak panah ke tubuhmu. Karena kelak engkau akan mendapatkan orang lain yang mencabut anak panah tersebut. Mengobati lukamu dan mengembalikan kehidupan dan senyumanmu. 
malamku, bukanlah malammu
malamku, tak sesemarak milikmu

tiap malam datang
kulewati dinginnya yang mencekam
menusuk hati dan perasaan
lebih ngilu dari sekadar goresan di badan
tidur hanya beralaskan sepotong kardus kesayangan
berselimutkan selembar kain usang
makan hanya sesuapan
itupun bila bisa kutemukan
diantara sampah sampah yang berserakan

sedangkan engkau, tuan
bergelimang kekayaan
bertahtakan mutiara dan tilam
apa pun yang kau dambakan
tak kan pernah luput dari genggaman

malamku hanya sebatas emperan
di pinggiran jalan maupun di kolong kolong jembatan

malammu berada di tengah keramaian
diantara vodka dan disco lantai dansa

malamku berteman dengan kesunyian
hiburanku bercanda dengan kaum pinggiran
juga anak anak jalanan
gulitanya kadang menyeramkan

sedang malammu berteman dengan kegemerlapan
hiburanmu mabuk mabukan
juga ugal ugalan di jalanan
gempitanya sering melenakan

begitupun malam minggu saat ini
tiada beda dari malam malam sebelum ini
entah kapan semua harus kujalani
kucoba bersabar dan kuatkan hati

namun tiada pernah kusesalkan
tiada pernah keluhan kusuarakan
tiada terlintas dariku ketidakadilan
sebab sepenuh hati kusadar tuan
semua hanyalah titipan
milikmu bukanlah kemutlakan
sengsaraku juga bukan kekekalan

aku hanya bisa terheran
mengapakah orang sepertimu tiada kesadaran
tiada melihat penderitaan yang kami rasakan
apakah kau tiada mengingat?
di manakah tempatmu di akhirat?

sejujurnya aku kasihan terhadapmu
juga orang orang sepertimu
karena syukurku bisa menentramkanku
sedangkan tamakmu malah menggelisahkanmu
rasa cukupku mendekatkanku pada Tuhanku
sedang serakahmu menjauhkanmu dari tujuan penciptaanmu

tuan, kalau boleh aku sarankan
kembalilah pada kebenaran
karena sungguh tuan
kalau pun aku terlahir kembali
aku lebih memilih malamku seperti ini
bukan malammu yang kau kagumi

malamku, sungguh tak seperti malammu
karena malamku adalah milikku
sedang malammu adalah kesiaan umurmu
( 19 Maret 2011 )
saat aku belum bisa bicara
kau mengajariku berucap
lewat ucapan ucapanmu yang menyenangkan

saat aku mulai bisa bicara
kau ajarkan aku kalimat
lewat kalimat kalimat indahmu yang menentramkan

saat aku belum bisa berjalan
kau menatihku
dengan tanganmu yang penuh kelembutan

saat aku tegap berjalan
kau menunjukkan padaku
jalan mana yang harus kulalui

saat aku mulai masuk sekolah
kau mengantarku dihari pertamaku
melindungiku dari anak anak asing itu

saat aku mulai nakal
kau membimbingku
dengan senyuman dan keikhlasan

saat aku berbuat salah
kau tiada pernah marah
bahkan hanya sekadar membentakku

saat aku mulai pusing dengan pelajaran
kau menunjukkanku betapa lebih pusingnya menjalani kehidupan
namun tetap kau jalani dengan ketegaran

saat aku ketinggalan pelajaran
kau menyemangatiku
segalanya masih bisa dikejar

saat aku berhasil melewati ujian
kau mengingatkanku
makna syukur yang hampir aku lupakan

saat aku mulai dewasa
kau mendukung apapun keputusanku
dengan sepenuhnya dukungan

saat aku merasa lelah dengan keadaan
kau menunjukkanku
tentang makna sabar di setiap detik kehidupan

saat aku dalam kesendirian
kau meneleponku
bahkan sebelum aku beritahukan

saat aku merasakan beratnya himpitan
kau menunjukkan masa lalu
ketika segalanya masih berantakan

saat aku merasa tak kan sanggup
kau memberitahuku
bahwa segalanya masih memungkinkan

kau telah ajarkan padaku
apa itu kehidupan

kau ajarkan padaku
bagaimana bisa bertahan

kau mengajariku
bukan dengan sekadar bicaramu

kau mengajariku
dengan kegigihanmu

kau mengajariku
dengan perilakumu

kau mengajariku
dengan tindakanmu

kau telah mengajariku
melalui hidupmu

kau menunjukkan kepadaku kemustahilan
yang akhirnya bisa kau taklukkan

kau adalah guru dalam hidupku
kau adalah segalanya bagiku
ibu

*kutuliskan seiring deraian hujan
 membasuh kekeringan kota kupang
 mengguyur jiwaku yang rindu kampung halaman

 ( 6 November 2010 )
Di sepertiga malam terakhir itu. Terbangun ragaku setelah beberapa saat terbuai mimpi. Setelah “absen”, ku terdiam merenungi diri ini. Dalam hening malam sunyi, terlintas namamu di hati. Rasa ini, entahlah, aku hanya beristighfar dan memohon perlindungan pada yang Maha Membolakbalikkan hati.

Terdiam tanpa suara. Teringat tentang asa dan mimpiku. Mimpi tentang masa depanku, dengan seorang yang penuh kasih. Seorang yang akan menerimaku dan mencintaiku apa adanya diriku. Dan aku pun menerimanya dan mencintainya apa adanya dirinya. Cinta yang terlahir bukan karena dunia semata, cinta yang tumbuh bukan karena sesaat saja. Tapi cinta yang sebenarnya, cinta karenaNya dan diridhoi olehNya. Mungkinkah itu dirimu? Entahlah, sekali lagi aku hanya bisa beristighfar semoga Allah menunjukkan jalan yang terbaik.

Belakangan ini, asa itu semakin menjadi dari hari ke hari. Namun aku selalu mencoba untuk meredam gejolak hati ini. Segalanya belum pasti. Masih jauh dari realiti dan baru sebatas mimpi.

Sejenak kuberpikir, mungkinkah engkau benar-benar mengharapkan ta’arufku? Mungkinkah engkau juga memiliki sedikit tentang rasa itu? Ah, sepertinya itu tak kan mungkin terjadi padamu. Aku memang hanya mendengar namamu dan baru sedikit tahu tentangmu. Tapi yang kurasa engkau terlalu jauh bagiku. Tiada mungkin bagimu memikirkan laki-laki, apalagi sepertiku. Sampai sini, aku hanya bisa mengagumimu. Bukan karena parasmu yang memang sudah cantik menurutku, lebih dari itu, aku mengagumi akhlak yang ada dalam jiwamu. Aku tiada begitu mempersoalkan keindahan rupa, yang seakan nyata namun semu pada hakikatnya. Karena kutahu, keindahan luar dan kecantikan rupa hanyalah sementara saja, tak akan bertahan lama. Bukankah telah jelas bahwa pada dasarnya setiap wanita telah ditakdirkan cantik menurut caranya masing-masing? Masih kupegang erat nasihat eyangku dahulu "Le mbesuk nek wes gedhe, ati-ati karo donya yo, ojo gampang keno fitnahe donya, endahing rupo lan akehing bondho biso sirno sakedhep netro". "Nak, kelak kalau kamu sudah dewasa, hati-hati dengan dunia ya, jangan mudah terkena goda (fitnah) dunia, kecantikan wajah dan banyaknya harta bisa sirna dalam sekejap mata."

Waktu terus berlalu, sunyi semakin menjadi. Masih saja kuberangan dan berharap. Suatu saat engkau mau menerimaku, engkau mau menungguku. Hingga ketika saat itu tiba, aku akan mendatangimu, mengungkapkan semua kegalauan hati ini, menuntaskan semua urusan ini. Urusan hati yang sungguh sulit kujelaskan saat ini.

Tidak untuk sekarang, bukan saat ini. Sebab bagaimana mungkin aku bisa mendampingimu, menentramkanmu jika aku belum setegar karang di lautan. Bagaimana bisa aku menguatkanmu jika aku sendiri masih rapuh seperti puing-puing yang berserakan. Bagaimana aku bisa melindungimu sementara aku sendiri masih lemah belum berdaya. Bagaimana aku akan membimbingmu sementara belum banyak ilmu yang kumiliki.

Kau masih memiliki urusan, kau masih memiliki tujuan dan cita-cita yang belum kau tuntaskan. Demikian juga diriku, masih terus mencari, membenahi dan selalu berusaha memperbaiki diri ini. Semoga Allah memudahkan jalan ini.

Disini, masih kuberharap dan selalu berharap, engkau akan menerimaku dan menungguku dengan kesabaranmu. Tak perlu lah kau ragukan kesetiaan ini. Aku akan mencoba mempertahankannya seperti pagi yang setia merindukan hadirnya mentari. Semoga kau pun yakin akan diriku.

Disini masih kuberharap, masih kupanjatkan, semoga Allah menganugerahkan kesabaran untukku juga untukmu. Semoga Allah menyempurnakan setengah dien kita. Dalam rahmat dan ridhoNya.

Aamiin ya Rabbal Aalamiin.



*Cerita ini hanya fiktif dan sekadar imajinasiku saja, jika ada kesamaan situasi dan emosi, hanyalah kebetulan belaka, bukanlah karena kesengajaan. Terimakasih atas atensinya. Selamat berkarya. ^^
Kupang, 2 Oktober 2010

About