....

05.20 | 0 Comments

Cintailah orang yang kamu cintai sewajarnya, karena boleh jadi suatu ketika ia menjadi orang yang paling kau benci. Bencilah orang yang kau benci sewajarnya, boleh jadi suatu ketika ia menjadi orang yang paling kau cintai.

(HR Al Bukhari)

Love

05.13 | 0 Comments

Love is primarily giving, not receiving...
pasrah...
berserah...
aku gak akan berubah...

persetan dengan uang...
persetan dengan fatamorgana kehidupan...
aku memilih damai dengan ketiadaan...
daripada terusik memikirkan kekayaan...

...

04.32 | 0 Comments

tidak ada kebaikan bagi pembicaraan, kecuali dengan amalan. 
tidak ada kebaikan bagi harta, kecuali dengan kedermawanan. 
tidak ada kebaikan bagi sahabat, kecuali dengan kesetiaan. 
tidak ada kebaikan baggi sedekah, kecuali niat ikhlas. 
tidak ada kebaikan bagi kehidupan, kecuali kesehatan dan keamanan. 

(Al-Ahnaf bin Qais)

..

04.29 | 0 Comments

Dunia itu tempat beramal dan tidak ada pembalasan, sedangkan akhirat itu tempat pembalasan dan tidak ada amal. Maka, beramallah di tempat yang tidak ada pembalasan untuk bekal di tempat yang tidak ada amal. 


( Ali bin Abi Thalib)

.

04.27 | 0 Comments

Dengan kehilangan, kita akan mengerti arti memiliki. 
Dengan perpisahan, kita akan mengerti arti pertemuan.

Jangan bersedih, bila orang yang selama ini dekat denganmu menghunjamkan anak panah ke tubuhmu. Karena kelak engkau akan mendapatkan orang lain yang mencabut anak panah tersebut. Mengobati lukamu dan mengembalikan kehidupan dan senyumanmu. 
malamku, bukanlah malammu
malamku, tak sesemarak milikmu

tiap malam datang
kulewati dinginnya yang mencekam
menusuk hati dan perasaan
lebih ngilu dari sekadar goresan di badan
tidur hanya beralaskan sepotong kardus kesayangan
berselimutkan selembar kain usang
makan hanya sesuapan
itupun bila bisa kutemukan
diantara sampah sampah yang berserakan

sedangkan engkau, tuan
bergelimang kekayaan
bertahtakan mutiara dan tilam
apa pun yang kau dambakan
tak kan pernah luput dari genggaman

malamku hanya sebatas emperan
di pinggiran jalan maupun di kolong kolong jembatan

malammu berada di tengah keramaian
diantara vodka dan disco lantai dansa

malamku berteman dengan kesunyian
hiburanku bercanda dengan kaum pinggiran
juga anak anak jalanan
gulitanya kadang menyeramkan

sedang malammu berteman dengan kegemerlapan
hiburanmu mabuk mabukan
juga ugal ugalan di jalanan
gempitanya sering melenakan

begitupun malam minggu saat ini
tiada beda dari malam malam sebelum ini
entah kapan semua harus kujalani
kucoba bersabar dan kuatkan hati

namun tiada pernah kusesalkan
tiada pernah keluhan kusuarakan
tiada terlintas dariku ketidakadilan
sebab sepenuh hati kusadar tuan
semua hanyalah titipan
milikmu bukanlah kemutlakan
sengsaraku juga bukan kekekalan

aku hanya bisa terheran
mengapakah orang sepertimu tiada kesadaran
tiada melihat penderitaan yang kami rasakan
apakah kau tiada mengingat?
di manakah tempatmu di akhirat?

sejujurnya aku kasihan terhadapmu
juga orang orang sepertimu
karena syukurku bisa menentramkanku
sedangkan tamakmu malah menggelisahkanmu
rasa cukupku mendekatkanku pada Tuhanku
sedang serakahmu menjauhkanmu dari tujuan penciptaanmu

tuan, kalau boleh aku sarankan
kembalilah pada kebenaran
karena sungguh tuan
kalau pun aku terlahir kembali
aku lebih memilih malamku seperti ini
bukan malammu yang kau kagumi

malamku, sungguh tak seperti malammu
karena malamku adalah milikku
sedang malammu adalah kesiaan umurmu
( 19 Maret 2011 )
saat aku belum bisa bicara
kau mengajariku berucap
lewat ucapan ucapanmu yang menyenangkan

saat aku mulai bisa bicara
kau ajarkan aku kalimat
lewat kalimat kalimat indahmu yang menentramkan

saat aku belum bisa berjalan
kau menatihku
dengan tanganmu yang penuh kelembutan

saat aku tegap berjalan
kau menunjukkan padaku
jalan mana yang harus kulalui

saat aku mulai masuk sekolah
kau mengantarku dihari pertamaku
melindungiku dari anak anak asing itu

saat aku mulai nakal
kau membimbingku
dengan senyuman dan keikhlasan

saat aku berbuat salah
kau tiada pernah marah
bahkan hanya sekadar membentakku

saat aku mulai pusing dengan pelajaran
kau menunjukkanku betapa lebih pusingnya menjalani kehidupan
namun tetap kau jalani dengan ketegaran

saat aku ketinggalan pelajaran
kau menyemangatiku
segalanya masih bisa dikejar

saat aku berhasil melewati ujian
kau mengingatkanku
makna syukur yang hampir aku lupakan

saat aku mulai dewasa
kau mendukung apapun keputusanku
dengan sepenuhnya dukungan

saat aku merasa lelah dengan keadaan
kau menunjukkanku
tentang makna sabar di setiap detik kehidupan

saat aku dalam kesendirian
kau meneleponku
bahkan sebelum aku beritahukan

saat aku merasakan beratnya himpitan
kau menunjukkan masa lalu
ketika segalanya masih berantakan

saat aku merasa tak kan sanggup
kau memberitahuku
bahwa segalanya masih memungkinkan

kau telah ajarkan padaku
apa itu kehidupan

kau ajarkan padaku
bagaimana bisa bertahan

kau mengajariku
bukan dengan sekadar bicaramu

kau mengajariku
dengan kegigihanmu

kau mengajariku
dengan perilakumu

kau mengajariku
dengan tindakanmu

kau telah mengajariku
melalui hidupmu

kau menunjukkan kepadaku kemustahilan
yang akhirnya bisa kau taklukkan

kau adalah guru dalam hidupku
kau adalah segalanya bagiku
ibu

*kutuliskan seiring deraian hujan
 membasuh kekeringan kota kupang
 mengguyur jiwaku yang rindu kampung halaman

 ( 6 November 2010 )
Di sepertiga malam terakhir itu. Terbangun ragaku setelah beberapa saat terbuai mimpi. Setelah “absen”, ku terdiam merenungi diri ini. Dalam hening malam sunyi, terlintas namamu di hati. Rasa ini, entahlah, aku hanya beristighfar dan memohon perlindungan pada yang Maha Membolakbalikkan hati.

Terdiam tanpa suara. Teringat tentang asa dan mimpiku. Mimpi tentang masa depanku, dengan seorang yang penuh kasih. Seorang yang akan menerimaku dan mencintaiku apa adanya diriku. Dan aku pun menerimanya dan mencintainya apa adanya dirinya. Cinta yang terlahir bukan karena dunia semata, cinta yang tumbuh bukan karena sesaat saja. Tapi cinta yang sebenarnya, cinta karenaNya dan diridhoi olehNya. Mungkinkah itu dirimu? Entahlah, sekali lagi aku hanya bisa beristighfar semoga Allah menunjukkan jalan yang terbaik.

Belakangan ini, asa itu semakin menjadi dari hari ke hari. Namun aku selalu mencoba untuk meredam gejolak hati ini. Segalanya belum pasti. Masih jauh dari realiti dan baru sebatas mimpi.

Sejenak kuberpikir, mungkinkah engkau benar-benar mengharapkan ta’arufku? Mungkinkah engkau juga memiliki sedikit tentang rasa itu? Ah, sepertinya itu tak kan mungkin terjadi padamu. Aku memang hanya mendengar namamu dan baru sedikit tahu tentangmu. Tapi yang kurasa engkau terlalu jauh bagiku. Tiada mungkin bagimu memikirkan laki-laki, apalagi sepertiku. Sampai sini, aku hanya bisa mengagumimu. Bukan karena parasmu yang memang sudah cantik menurutku, lebih dari itu, aku mengagumi akhlak yang ada dalam jiwamu. Aku tiada begitu mempersoalkan keindahan rupa, yang seakan nyata namun semu pada hakikatnya. Karena kutahu, keindahan luar dan kecantikan rupa hanyalah sementara saja, tak akan bertahan lama. Bukankah telah jelas bahwa pada dasarnya setiap wanita telah ditakdirkan cantik menurut caranya masing-masing? Masih kupegang erat nasihat eyangku dahulu "Le mbesuk nek wes gedhe, ati-ati karo donya yo, ojo gampang keno fitnahe donya, endahing rupo lan akehing bondho biso sirno sakedhep netro". "Nak, kelak kalau kamu sudah dewasa, hati-hati dengan dunia ya, jangan mudah terkena goda (fitnah) dunia, kecantikan wajah dan banyaknya harta bisa sirna dalam sekejap mata."

Waktu terus berlalu, sunyi semakin menjadi. Masih saja kuberangan dan berharap. Suatu saat engkau mau menerimaku, engkau mau menungguku. Hingga ketika saat itu tiba, aku akan mendatangimu, mengungkapkan semua kegalauan hati ini, menuntaskan semua urusan ini. Urusan hati yang sungguh sulit kujelaskan saat ini.

Tidak untuk sekarang, bukan saat ini. Sebab bagaimana mungkin aku bisa mendampingimu, menentramkanmu jika aku belum setegar karang di lautan. Bagaimana bisa aku menguatkanmu jika aku sendiri masih rapuh seperti puing-puing yang berserakan. Bagaimana aku bisa melindungimu sementara aku sendiri masih lemah belum berdaya. Bagaimana aku akan membimbingmu sementara belum banyak ilmu yang kumiliki.

Kau masih memiliki urusan, kau masih memiliki tujuan dan cita-cita yang belum kau tuntaskan. Demikian juga diriku, masih terus mencari, membenahi dan selalu berusaha memperbaiki diri ini. Semoga Allah memudahkan jalan ini.

Disini, masih kuberharap dan selalu berharap, engkau akan menerimaku dan menungguku dengan kesabaranmu. Tak perlu lah kau ragukan kesetiaan ini. Aku akan mencoba mempertahankannya seperti pagi yang setia merindukan hadirnya mentari. Semoga kau pun yakin akan diriku.

Disini masih kuberharap, masih kupanjatkan, semoga Allah menganugerahkan kesabaran untukku juga untukmu. Semoga Allah menyempurnakan setengah dien kita. Dalam rahmat dan ridhoNya.

Aamiin ya Rabbal Aalamiin.



*Cerita ini hanya fiktif dan sekadar imajinasiku saja, jika ada kesamaan situasi dan emosi, hanyalah kebetulan belaka, bukanlah karena kesengajaan. Terimakasih atas atensinya. Selamat berkarya. ^^
Kupang, 2 Oktober 2010
Beberapa saat yang lalu, setelah tadarusan sebentar, aku keluar cari makan. Telah kumantapkan hatiku bahwa malam ini menunya adalah ikan bakar. Sekitar 5 menit dengan kendaraan sampailah ke warung yang kutuju.

Di sebelah warung itu ada sebuah Bank. Di Bank tersebut terlihat ramai sekali, rasanya agak janggal juga, masak malam-malam begini kok ramai kayak gini. Tingkat keramaian yang kurang wajar menurutku. Kuedarkan pandangan ke kerumunan, kulihat disana banyak pula anggota Polisi dan Tim Gegana. Ada apakah gerangan, pertanyaan itu serta-merta terlintas dibenakku. Ah, paling lagi ada undian yang cukup besar buat nasabah, atau lagi pengumuman pemenang hadiah utama kali, pikirku. karena keadaan perutku yang udah kacau dan meronta-ronta dari tadi, maka kuacuhkan saja mereka. Aku langsung bergegas menuju warung yang hanya berjarak puluhan meter dari kerumunan tadi.

Beruntung warungnya belum tutup, kulihat sudah gak ada orang jajan lagi. Sekonyong-konyong kuhampiri mbaknya yang bagian jaga ikan. Kutanya padanya, ikannya masih mbak? Masih mas, jawabnya. Kulihat tinggal 4 ekor saja. Kutanya lagi ke mbaknya, yang enak yang mana. Dia nunjuk seekor ikan, tak tahulah aku apa namanya, yang penting makan aja, batinku.

Sambil menunggu ikannya masak, kupesan es cendol untuk sekadar ngebasahin kerongkongan yang emang lagi panas terasa. Sekitar 15 menit belum juga siap pesananku, karena jenuh kualihkan dengan membuka FB lewat hp ku. Arrrrrrrghh sial, selalu begini. Gagal konek terus, asal tahu aja kawan, disini tu kalau malam kebiasaan banyak operator trouble. Agak kesal, kututup lagi hp ku, gak jadi ngenet. Kulihat-lihat disekitar, sepi dan sepi, hanya ada 4 orang selainku, ah gak papa lah, yang penting gak sendirian.

Gak berapa lama setelah itu, pesananku datang, langsung saja kulahap tanpa ampun. Sesuap demi sesuap, secuil demi secuil masuk dengan syahdu ke dalam perutku. Ketika baru habis setengah, iseng-iseng lagi aku coba ngenet, kubuka FB lagi untuk melihat status teman-teman yang baru update. Kubaca beberapa diantaranya, ku-scroll ke bawah, sedikit tersentak. Ada yang update status kalau, ada isu bom di sebuah Bank disini, dan itu adalah Bank yang berada di sebelah warung tempatku makan. Jarak kami hanya dipisahkan oleh sebuah warung saja. Semua yang kupandang beberapa saat lalu berkelebat di kepalaku. Ow ow ow, pantesan kok ramai banget malam-malam gini, banyak polisi dan gegana pula. Jadi ini to masalah sebenarnya. Tapi yang bikin heran, pemilik warung dan pegawai-pegawainya tenang-tenang aja, kayak gak ada apa-apa.

Ah biarlah, yang terjadi biarlah terjadi. Kulanjutkan lagi makanku, kali ini kulakukan dengan pelan dan pelan, lembut sekali kumasukkan sendok kemulutku, kunikmati setiap butir nasi yang masuk kerongkongan. Kurasakan kelezatan setiap cuil ikan yang kumakan. Seolah-olah ini adalah makan yang terakhir kalinya. Dan luar biasa, rasanya gak seperti biasanya, aku merasa nikmat sekali menu malam ini. Padahal biasanya gak senikmat ini. Sesaat setelah itu kudengar  kabar bahwa situasi telah aman, hanya ada bom kecil dan itu sudah diamankan, begitu sayup-sayup yang kudengar, kurang pasti juga gimana kabar sebenarnya.

Alhamdulillah, syukurlah gak terjadi apa-apa. Setelah kutenggak tetes terakhir es cendolku, aku langsung cabut dari situ. Di luar kulihat suasana masih sangat ramai, masih banyak polisi dan yang lainnya berkerumun di TKP. Banyak yang jeprat-jepret pakai kamera dan banyak pula yang merekamnya dengan handycam. Kulewati saja semuanya sambil berdoa semoga situasi aman terkendali, gak terjadi hal-hal yang meresahkan.
( 17 Agustus 2010 )
cinta yang ingin tumbuh
janganlah kau coba bunuh

cinta yang sedang bersemi
usahlah kau pungkiri

kenapa kau ingin lari?
setelah sekian lama kau mencari

mengapa tidak kau percayai?
setelah tiada mudah kau dapati

janganlah kau buat luka
jika cinta ingin menyapa

janganlah kau menghindarinya
jika cinta itu memang ada

betapa banyak yang mendamba
manisnya kasih tulusnya cinta

bukankah kita berdua?
telah merasa itu semua

kau dan aku sama
ingin mencinta dan dicinta

kau dan aku sama
tak ingin sekalipun terluka

lalu mengapakah kau menorehkannya?
terhadapku yang tulus adanya

mengapa kau mau melepaskan?
setelah kau mampu mendapatkan

mengapa kau melakukannya?
jika tahu kita sama-sama terluka

tak bisakah bila kita sama-sama merajutnya?
tak bisakah kita menyulam jalinannya berdua?

di benakku terlintas pertanyaan
dimanakah ketulusan kau tempatkan?
bila usia kau jadikan sebagai alasan

di fikirku terbesit keraguan
mungkinkah cinta akan dewasa?
bila kau sengaja menafikannya

kau adalah sutradara
dalam sandiwara cinta

aku hanyalah pemainnya
dalam skenario yang kau reka

biarlah aku memainkan peranku
dan kau melakukan bagianmu

sebisa dan semampuku
kan kuikuti apa maumu

kan kuturuti tiap digit huruf sketsamu
berharap kau selalu tersenyum dengan hasil kerjamu

bisa saja ku berpaling ke lain sutradara
tapi itu hanya akan membuat luka semakin menganga

sebab tiada mungkin skenarionya kupahami
bila tiada tumbuh rasa sehati

aku tetaplah aktormu
dan kau tetaplah sutradaraku

satu yang ingin kurasa
kita bisa main bersama
dalam cerita cinta yang kau damba

hingga tiba saat-saat itu
ku kan tetap melakonkan peranku
mengikuti naskah kreasimu

( 16 April 2010 )
Alkisah pada suatu masa, di desa kecil yang aman sentosa damai sejahtera gemah ripah loh jinawe aman tenteram tata titis karta raharja, Padangan namanya (narsis dikit cuy ^_^), hiduplah seorang pemuda yang bernama Tole.

Pemuda ini tergolong pendiam, penurut, cerdas, gak neko-neko, tampil apa adanya, selalu memancarkan aura yang cerah ceria bak purnama di malam pertama. Seiring berlalunya waktu bergantinya masa berputarnya roda dunia, pemuda ini berkembang dengan pesat sekali.

Meski dengan keterbatasan ekonomi, dia mengimbanginya dengan mencari ilmu di segala situasi. Walau dia menjadi seorang yang pandai dan disegani, dia tetap rendah hati dan tidak suka berlebihan dipuji. Dia jauh lebih berkembang dibandingkan pemuda-pemuda kebanyakan. Dia sangat teramat sederhana bersahaja tiada dua.

Hari terus berganti, purnama pun telah bolak-balik menyapa. Tiada terasa dia sudah dewasa, sudah waktunya baginya untuk berkeluarga, menuntaskan separuh dari agamanya, membagi suka duka dengan seorang yang dicinta.

Pada suatu ketika dia hendak melamar seorang gadis dari tetangga sebelah, gadis yang tinggal satu desa, dia memilih gadis yang satu desa karena menuruti wejangan kakek neneknya pada masa dahulu kala ketika keduanya belum tiada.

Ketika itu tidak ada hujan rintik-rintik air tidak bergelombang. Dengan baju baru (baru pinjam teman karibnya) dia berjalan dengan gagah perkasa membelah nusantara jelita. Menyusuri jalan lestari, sampai di perempatan dia belok kiri masuk ke jalan asri, terus melaju dengan semangat menggebu, pada suatu tikungan dia belok ke gang rapi yang terdapat banyak kelinci.

Tak berapa lama sampailah ia ke rumah pujaan hatinya. Dilihatnya calon mertua ada di depan beranda rumah, sedang duduk-duduk santai menikmati suasana yang indah. Dengan semangat 45 dia menyapa, assalamualaikum pak lik. Sambil menunggu respon dari calon mertua, dia mengerahkan senyum menawan penakhluk preman jalanan.

Sang calon mertua, pak Raden namanya, menyambut sapanya dengan ramah tapi tidak rajin menjamah (halah). Singkat cerita tanpa bla bla bla, dipersilakanlah si pemuda untuk masuk ke dalam rumah.
Pak raden adalah seorang yang kaya namun hanya memiliki satu anak saja, seorang anak wanita, Genduk namanya.

“Monggo nak mas Tole, pinarak rumiyin.” Kata pak Raden dibarengi dengan senyumnya.

“Injih, maturnuwun pak lik.” Berjalan sambil menunduk-nunduk khas jowo aseli.

“Bune, iki lho enek den mas Tole, gek ndang digawekno unjukan. Mesakno adoh-adoh mlaku dilakoni.”

“Iyo pakne, iki lagi digawe unjukane.” Sahut seorang ibu dari dalam.

“Ah sampun, mboten usah pak lik, ngrepoti mawon.” Ucap Tole.

“Halah yo ora popo to nak mas Tole, wong yo amung banyu ae.”

“Anyway by the way busway, enek opo ki nak mas, kok tumben-tumbene njanur gunung dolan mrene?”


Dengan tanpa basa basi biar niatnya gak keburu basi si Tole mengemukakan niat tulus ikhlas dunia akhiratnya, mengutarakan dan menyelatankan maksud hatinya untuk melamar si Genduk, gadis yang dipujanya, bunga desa tiada tandingannya.

Obrolan mengalir laksana seorang bapak dengan anaknya sendiri, tak perlu waktu lama keduanya bisa membaur melebur larut dalam pembicaraan, canda tawa dan suka cita.

Setiap kali pak Raden bertanya tentang suatu hal, si pemuda selalu bisa menjawabnya dan menjelaskannya dengan jlentreh, mendetail, rinci, dibahas satu persatu, mengingat si pemuda memang pemuda yang paling pandai lagi bijaksana di desa itu. Setiap kali diajak berdiskusi kekeluargaan, si pemuda bisa mengimbangi dan mampu memantapkan hati sang calon mertua.

Hingga suatu tanya, pak Raden bertanya dan mengajak diskusi tentang masalah mo limo (5M).

“Tole awakmu ngerti opo iku mo limo (5M)? Wong urip iku kudu ngadohi sing jenenge mo limo. Sing purwo (wiwitan/kapisan/pertama) yoiku Maling (mencuri, termasuk juga korupsi). Ojo nganti awakmu dadi maling, iku perkoro sing olo, ndadekake wong liyo sengsoro, awakmu yo bakal mlebu neroko.”

“injih pak lik, kulo ngertos. Kulo mboten nate maling kok, kulo tiyang ingkang jujur, nate sadean bubur, ngantos dikeroyok preman babak belur.”

“yo, pinter Le, aku percoyo, pancen masalah sepak terjangmu wes podo dingerteni wong sak deso.”

“Sing kapindho (nomer loro) yoiku Madat (nyabu). Iku ojo mbok tiru, iku tumindhak sing kleru, iso ngerusak awakmu, gawe tangise mbokmu.”

“injih pak lik, kulo mboten madat kok, nanging kulo nyabu, nyarap (sarapan) bubur pak lik hehe.” Canda si Tole.

“Weilah ngageti aku ae, tak kiro nyabu, iyo Le aku percoyo.”

Selagi keduanya asik ngobrol, keluarlah si Ibu membawakan minuman untuk Tole si tamu. 

“Monggo mas Tole, diunjuk, eneke yo mung iki mas.”

“Ah ngerepoti mawon Bu.” (jawab si Tole dengan basa basi, padahal sedari tadi sudah haus setengah mati)

Setelah itu si Ibu kembali ke dalam lagi.

Ayo Le diunjuk, srupuuuut, seger lho.”

Dengan malu-malu si Tole meminumnya sedikit, mencoba mencicipi, srupuuut.

“Wah, seger saestu pak lik.”

Tanpa malu-malu lagi si Tole langsung menghabiskan minuman dalam satu kejapan.

‘Weilah, saknoe bocah iki, ngelak temenan tibake.’ pak Raden membatin.

Setelah itu, perbincangan dilanjutkan.

“Sing nomer telu yo Le, ojo nganti kowe Main (berjudi). Ora enek gunane main iku. Iku gaweane wong nganggur, wong males, ora gelem kerjo, karepe nggolek penake dewe. Ora enek ceritane wong main iso sugih. Aku iso koyo ngene ki tak rewangi adus getih.” Eling-eling sing dinyanyekno bang Haji Rhoma kae lho.”

Judi, menjanjikan kemenangan

judi menjanjikan kekayaan

bohong, kalaupun kau menang, itu awal dari kekalahan

bohong, kalaupun kau kaya, itu awal dari kemiskinan


judi meracuni kehidupan

judi meracuni keimanan

pasti, karna perjudian, orang malas dibuai harapan

pasti, karna perjudian, perdukunan ramai menyesatkan


yang beriman bisa jadi murtad, apalagi yang awam

yang menang bisa menjadi jahat, apalagi yang kalah

yang kaya bisa jadi melarat, apalagi yang miskin

yang senang bisa jadi sengsara, apalagi yang susah


keduanya sampai bergoyang-goyang karena mereka memang penggemar berat ‘the legend.’

“Sing kepapat Le, ojo nganti kowe Minum/Mendem (mabuk-mabukan). Iku ora enek faedahe Le, kakehan arak mung iso ngerusak awak, kakehan bir iso ngethulake (menumpulkan, lawan kata dari landhep) pikir, kakehan wisky nggarai kowe lali karo Gusthi.”

“Injih, sendiko dawuh pak lik.” Jawab Tole.

“Sing kelimo (pungkasan/terakhir) yo Le, kowe ojo nganti Madon/Medok (main perempuan). Wong wadon iku dudu barang sing iso mbok nggo dolanan. Wong wadon iku menungso sing nduwe perasaan. Mas Doni Ada Band kae yo ngomong nek wanita ingin di mengerti, lewat tutur lembut dan laku agung, manjakan dia dengan kasih sayang. Lak yo ngono to?”

“Limo perkoro mau ora ilok kanggo kowe, kabeh mau kudu mbok adohi. Di eling-eling aku ngomong ngene iki.”

“Injih pak lik, kulo faham ngendikanipun panjenengan.” Sahut Tole sok teu.


Setelah pak Raden ngomong panjang lebar tinggi luas volume tambah kurang kali bagi, si Tole dengan sok tahunya malah berkata dengan bangga. “Kulo sampun paham perkoro mo limo (5M) pak lik, kulo malah gadhah cekelan malih, naminipun mo seket (50 M).”

Dengan terkaget-kaget (nggak dapat uang kaget lho) dan terperangah laksana pemenang bedah rumah, pak Raden dengan rasa penasarannya yang tinggi setinggi gunung fuji lantas ingin tahu lebih lanjut mengenai mo seket (50 M) yang diucapkan si Tole. “Hebat tenan bocah iki. Tak ajari mo limo, malah wes nduwe mo skeet.” Pak Raden membatin.

“Opo ae mo seket iku Le, aku kok dadi penasaran.”

Karena si Tole pemuda yang lugu dan jujur, dia ngomong terang-terangan kepada pak Raden, sang calon mertua.

“Mo seket meniko,

Moh Mergawe Madep Manteb Males Malesan Mangan Mekso Melu Morotuwo,

Morotuwo Masak Mantu Melu Mangan,

Morotuwo Mangan Mantu Mesthi Menangan,

Morotuwo Mergawe Mantu Mung Meneng,

Morotuwo Mangkel Mantu Mung Meringis,

Morotuwo Meriang Mantu Malah Mlayu,

Morotuwo Muring Muring Mantu Minggat,

Morotuwo Megap Megap Mantu Mengos,

Morotuwo Mati Mantu Melu Marisi.”


JELEGGEERRRRRR!!!!! Bak disambar petir dengan daya jutaan watt, pak Raden sangat tersengat mendengar penuturan si Tole gak tahu adat.

“ Weee Ladalahhhh!! Bocah ora nggenah!! Ora nduwe totokromo, diwenehi ati ngerogoh rempelo.”
Seperti di iringi suara-suara gamelan dan musik pewayangan, pak Raden mengamuk bak orang mabuk.

“Kowe durung ngerti yo sopo aku iki!! Aku ngono ijek keturunane Guatot Koco sing sekti mondroguno!! Mabur tanpo lar, njejeg tanpo sotang, njajan tanpo mbayar!!”

“Ora sak gampang iku Le!! Bocah kere sak penake udhele!! Langkahono ragaku, tampanono ajiku!!”

Sontak saja si Tole ketakutan setengah hidup melihat kemarahan pak Raden yang meletup-letup.
“Wah gawat, aku harus segera kabur dari sini, daripada mampus sebelum punya istri.” Gumam si Tole.

“Ndang muliho!! Ora tak tompo kabeh sing mbok karepno!!” Ciatttt!!!!! Pak Raden mulai mengeluarkan kesaktiannya.

Dan si Tole lari pontang-panting, dengan baju compang-camping terkena ajian Guatot Koco sinting.

Akhirnya---ending
hehe..sekian dulu ya cing..salam sinting!! ^_^
* note: cerita ini hanya fiktif belaka. Bila ada kesamaan nama orang, tempat, waktu, peristiwa atau suasana, hanyalah rekayasa belaka. Mohon Anda tidak tersinggung, lebih enak kalau tersungging senyum di bibir Anda. Itu akan mengalirkan juga rasa bahagia di hati saya.
( 13 April 2010 )

About