Huff akhirnya kembali juga aku menyinggahi kosanku. Setelah sebulan lebih kutinggalkan dirimu. Maafkan aku yang telah lama membiarkanmu dalam kesendirian. Kulepas sepatuku, perlahan, bersama itu pula kulucuti kaos kakiku, satu persatu.

Kuraba saku celana. Kucari-cari dengan seksama. Akhirnya ketemu juga, kunci kosanku. Dengan senyum terkembang, kukeluarkan dia dari saku, serta-merta kumasukkan dia ke lubang pintu, hanya itu satu-satunyapasswordagar aku dapat memasuki kamarku.

Derit pintu yang mulai terbuka menggodaku. Seakan memintaku untuk menyentuhnya lama-lama. Maklum, mungkin dia sedang merindu pada tuannya. Aahh menggemaskan sekali dia. Tahu sendiri kawan, satu bulan lebih, bukan waktu yang sebentar bagi sebuah perpisahan. Jangankan satu bulan kawan, sehari saja laksana setahun, begitulah kata para remaja dan anak-anak muda yang sedang dilanda asmara. Entah apa lagi namanya. Ku tak pernah merisaukannya.

Satu-dua langkah aku masuk kedalam. Aku terheran, tapi tidak terlalu kawan, karena seperti yang kuduga dan kuterka, semua berubah adanya. Di setiap mili kamarku, di lantai, dinding, di meja, kursi, lemari, buku-buku ku, gorden jendela ku. Semua, semua kawan, semua telah dilumuri debu. Aahh sial, begitu umpatku. Nampaknya perlu sedikit kerja nih, gumamku.

Debu-debu itu sungguh cepat sekali dia berkembang, parasit bagi keindahan, parasit bagi kebersihan. Entah dengan apa mereka berkembang biak, bertelur kah, beranak kah, membelah diri kah, fragmentasi kah. Aku tidak tahu kawan, yang kutahu di setiap detiknya, mereka bertambah pesat kuantitasnya. Entah beranak pinak, ataukah mereka memanggil kawan-kawannya untuk berpesta bersama.

Angin. Itulah sahabat terbaik bagi debu. Dengan bantuan angin jua lah, debu-debu itu menyebar begitu mudahnya. Kolaborasi mereka sungguh hebat. Sekuat apapun manusia, bila debu dan angin sudah menerpa, pasti kalang kabut juga.

Perlahan, kusentuh kasurku. Malang sekali nasibmu. Sudah matikah dirimu, atau kah tertidur lesu, atau kah terkulai layu. Yang ku lihat saat itu, kau hanya diam membisu. Kusapa dirimu, tak jua ada respon untukku. Mungkin juga aku ini lelaki kejam, tiada perasaan, telah membuatmu demikian.

Kupegang dia, kasurku itu. Kuangkat dan kubopong dia keluar dari tempat yang membuatnya sekarat. Kujauhkan dia, dari suasana yang membuatnya tak berdaya, sebulan lebih lamanya. 

Kuambil dua buah kursi, satu di dalam kamar, satu lagi di luar di teras depan kamar. Kususun kursi itu diluar. Kususun berdekatan, berhadap-hadapan. Amboy, romantis sekali dua kursi itu kawan. Malu-malu sekali mereka waktu kudekatkan keduanya. Seakan menyuruhku untuk sesegera mungkin meninggalkan mereka. Kursi-kursi itu seperti muda mudi yang baru dipertemukan. Akrab sekali mereka berdampingan. Tiada lagi yang mereka pedulikan. Segala sesuatu di sekitar dianggap sebagai pemeran tambahan dalam sinetron yang mereka perankan. Ahh, geli sekali aku melihatnya kawan.

Sejenak kemudian aku terdiam. Pada keduanya aku merasa kasihan. Nanti akan aku ceritakan kawan, mengapa aku merasa kasihan dan sejenak terdiam.

Kubergegas kembali ke dalam kamar. Kuedarkan pandanganku keseluruh ruangan. Hingga ke sudut-sudutnya. Kupandangi lamat-lamat. Nah itu mereka, pikirku. Kutemukan juga. Disetiap ujung-ujung dinding. Di setiap pertemuan dua sisi dinding, dan pertemuan dua sisi atap dengan dinding, serta dinding dengan lantai, yang kesemuanya membentuk sudut 90 derajat, kutemukan bahwa kesemuanya telah dibangun beraneka rumah yang indah. Disanalah keluarga laba-laba membentuk populasinya. Indah sekali rumah-rumah itu, menurut versi mereka tentunya. Tapi tidak untuk kita sebagai manusia. Menjengkelkan sekali kawan. Itu yang pertama kuutarakan.

Risih sekali aku melihatnya. Bukan karena aku iri kepada mereka. Bukan karena aku iri kekeluargaan mereka. Bukan aku iri akan kehebatan mereka. Tetapi itu semata karena membuatku tidak nyaman kawan. Meskipun tak dapat kupungkiri, arachnoida, demikian ilmuwan menyebut spesies mereka, merupakan salah satu makhluk ciptaan Tuhan yang mengagumkan. Mereka bisa hidup dimanapun di muka bumi ini. Di dalam kamar, di luar kamar, di atap, di belakang pintu, di atas genteng, bergelantungan di kabel-kabel dan tiang listrik, di pepohonan, dan masih banyak lagi kawan. Sungguh mengagumkan.

Rumah-rumah yang mereka bangun, tak dapat terpikir olehku bagaimana mereka bisa melakukannya. Detik demi detik mereka membuatnya. Se-inci demi se-inci, bahkan mungkin lebih pendek dari itu, sedikit demi sedikit mereka merajutnya. Dengan kemampuan sendiri kawan, tanpa perlu bantuan penjahit untuk merajutnya, tanpa bantuan penyulam untuk menyulamnya. Mereka men-desainnya dengan sempurna. Semua mereka pertimbangkan. Panjang jaringnya, tingkat kerapatan jaringnya, sisi atas maupun bawah, sisi kiri maupun kanan, ketebalan jaring di bagian tengahnya. Semua, mereka, para laba-laba itu telah memperhitungkan semuanya, bahkan aku terheran dari mana mereka belajar semua itu, dari mana mereka belajar ilmu sulam-menyulam, rajut-merajut serta arsitektur, yang aku sendiri bahkan tidak mampu melakukannya. Subhanallah.

Tapi ironisnya, mereka adalah kaum terusir, kaum terpinggirkan. Ya, demikian aku menyebutnya. Karena seindah apapun karya cipta mereka, sehebat apapun kuasa Tuhan yang diberikan pada mereka, pada akhirnya harus pula dirusak oleh manusia, semata-mata demi alasan estetika. Sungguh makhluk yang paling kejam didunia memanglah manusia. Itulah pandanganku kawan, tak terkecuali diriku ini. 

Sejurus kemudian aku mencari si sapu. Kucari dan kucari ternyata dia ada di luar sana, sedang berjemur di bawah terik matahari siang. Mungkin kemarin, atau kemarin lusa, atau kemarinnya lagi, dia telah dipakai manusia untuk membersihkan ruangannya. Seperti sebuah kebiasaan kawan, setelah sapu itu dipakai, entah habis itu kotor, lusuh, kering, ataukah basah, pasti di singkirkan. Entah di belakang pintu, di sudut ruangan, ditidurkan di atas genteng, ataukah hanya tergeletak, terkulai begitu saja. Sungguh besar jasa-jasanya, tetapi dia hanya disentuh kalau diperlukan saja.

Kuambil sapu itu, kubawa memasuki kamarku.

Kuterdiam sementara. Dengan berat hati, kulangkahkan kaki. Perlahan-lahan kuusir laba-laba itu dari tempatnya yang nyaman. Sungguh kejam, pekik mereka. Anak-anak laba-laba yang kecil itu berteriak-teriak minta pertolongan. Tak terkecuali induk-induk mereka dan kaum betinanya. mereka berharap si jantan melindungi dan menjaga mereka. tapi apa daya kalau yang dilawan adalah manusia. Mereka menyadari tak kan bisa, hanya pasrah saja sesuai yang kuarahkan.

Kudorong mereka perlahan-lahan kawan. Karena sejatinya aku tidak sanggup, tidak kuasa, dan tidak tega kalau sampai ada diantara mereka yang terluka. Lebih-lebih bila sampai tercabut nyawa. Syukur, mereka mau mengerti. Meskipun lama prosesnya, tapi semua keluarga mereka mau hijrah ke tempat lain, menjauh dari kamarku. Sesekali mereka berhenti dan memandangi rumah-rumah indah ciptaan mereka yang telah dihuni lama. Aku membiarkan sejenak, baru setelah mereka rela dan pergi jauh, aku mulai merusak rumah-rumah itu. Dengan kejam mungkin, kuhancurkan semuanya. Rumah-rumah indah itu luluh-lantak lah sudah. Maafkan aku arachnoida-arachnoidaku.

Semuanya sirna sekarang. Setiap sudut di kamarku terlihat lebih terang dan enak dipandang. Tak lagi suram dan berantakan. Tak lama kemudian aku bergegas membersihkan bagian-bagian lainnya. Kusapu semua lantai, debu-debu yang melekat dengan kuat. Perlu perjuangan kawan, untuk menghilangkan debu yang telah lama menumpuk. Semakin lama debu menumpuk dan tidak dibersihkan, maka semakin kuat pula dia berpegangan pada yang ditempelinya. Kuat sekali cengkeramannya hingga kadang susah bagi kita untuk melepaskannya. Kubersihkan semua barang-barangku dari si debu itu. Lima belas menit cukup lah untuk semua itu.

Di luar, sinar mentari makin kuat saja sengatannya. Kesempatan itu tentu saja tak kan kusia-siakan.

Masih ingatkah engkau tentang sepasang kursi yang sedang bercumbu mesra tadi, yang sedang bersenda-gurau tiada henti. Akan kulanjutkan ceritanya.

Begini kawan, setelah semua yang di dalam kamar beres tuntas, aku lantas membopong kasurku tadi beserta bantal dan gulingnya sekalian. Kuangkat mereka. Kubawa mereka menuju dua buah kursi yang sejak tadi asik berduaan. Kuangkat kasur itu dan kuletakkan di atas kedua kursiku. Ada rasa memberontak yang ingin diutarakan kedua kursi itu. Mereka berdua merasa diganggu. Lebih-lebih lagi aku menutupi keduanya dengan kasurku. Ahh, sekali lagi membuktikan kejamnya diriku.

Nah disinilah kawan ceritanya hingga di awal aku mengatakan bahwa aku sejenak terdiam dan merasa kasihan. Kukuatkan lagi hatiku. Setelah aku merasa yakin, tidak sampai lima hitungan, dengan sekonyong-konyong kupukuli kasurku itu dengan gagang sapuku. Merontalah dia. Terisak pulalah kedua kursiku. Apa mau dikata lagi. Inilah yang memang harus kulakukan.

Tujuanku hanyalah agar kasurku bebas dari belenggu debu. Itulah jamu kawan. Kelihatannya memang menyedihkan, kelihatannya memang pahit, tapi itulah yang terbaik. Jamu memang pahit, tapi setelah meminumnya tubuh kita akan menjadi segar dan merasa lebih sehat dari sebelumnya. Demikian pula yang kulakukan untuk kasurku, semata-mata hanyalah untuk kebaikannya, pun untuk kebaikanku juga.

Bag..bug..bag..bug..bug..bag..bug!!! keras sekali suara itu. Dengan sekuat tenaga aku memukulinya. Tiada rasa kasihan dariku. Sebenarnya aku juga tak tega melakukannya kawan. Sungguh kasihan keadaan mereka, tapi setelah aku bilang bahwa tak apa, nanti kau akan menjadi lebih baik dari yang sekarang, kasurku tak  protes lagi. Dia hanya menurut saja. Bag bag..bug..bag..bug..bug..bag..bug!!! kuulang-ulang hingga puluhan atau ratusan kali. Beterbanganlah miliaran debu. Rasakan kau debu, pekikku. Selamat tinggal debu yang malang.

Miliaran debu itu lari terbirit-birit. Mereka menjauh, mungkin mencari persinggahan baru.

Sementara kasurku, yang sedari tadi diam membisu, kini mulai tersenyum padaku. Cerah sekali roman mukanya sekarang. Dia tampak senang rupanya. Aku juga senang melihatnya. Semua telah kembali seperti sedia kala. Parasit-parasit itu sudah hilang dan terbang entah kemana.

Akhirnya kutinggalkan kasurku dan kedua kursiku. Kulihat mereka sedang asik bercanda. Dua kursiku telah mendapat teman baru nampaknya.

Aku kembali ke kamar dan kulanjutkan lagi ke kerjaan lainnya. Tinggal beres-beres dan merapikan saja. Fiiuuuuhhh senang sekali rasanya.

Hari yang indah. Cukup melelahkan tapi juga melegakan. Keringat sampai bercucuran hingga membasahi halaman.

By the way any way bus way kawan, demikian sedikit cerita ku di kosan saat liburan. Aku mau mandi dulu membersihkan badan, sampai ketemu di lain kesempatan ^_^
( 21 Mei 2009 )

0 komentar:

Posting Komentar

About